Selain mengajarkan kebaikan, Islam juga mengajarkan ebaikan itu harus dilakukan dengan cara-cara yang baik. Mengajak orang lain ibadah itu sangat baik, namun demikian ajakan itu pun harus dilakukan dengan cara-cara yang baik. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan pengeras suara atau mikrofon di tempat ibadah seperti masjid dan mushalla.
Dalam hal ini ada 7 dalil atau argumentasi ilmiah tentang pengaturan penggunaan pengeras suara yang layak dipahami dari Kitab I’lâmul Khâsh wal ‘Âmm bi Anna Iz’âjan Nâsi bil Mikrûfûn Harâm (Pemberitahuan Bagi Orang Pintar dan Orang Awam Bahwa Mengganggu orang Lain dengan Mikrofon Hukumnya Haram) karya Sayyid Zain bin Muhammad bin Husain Alydrus, Dosen Universitas Al-Ahgaf Yaman. Pertama, banyak ayat dan hadits yang memerintah untuk memelankan suara dalam shalat, dzikir dan doa.
Sebagai contoh adalah ayat dan hadits berikut:
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ
Artinya, “Ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (Surat Al-A’raf ayat 205).
أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُمْ
Artinya, “Wahai manusia, kasihanilah diri kalian dengan mengecilkan suara kaklian saat berd. Sungguh kalian tidak memanggil zat yang tuli dan yang gaib. Sungguh kalian memanggil Allah Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat. Allah bersama kalian.” (HR Muslim)
Ayat dan hadits seperti ini secara eksplisit memerintahkan agar orang memelankan suara dalam shalat, dzikir dan doa; dan secara implisit melarang melakukannya secara terlalu keras. Larangan ini juga memasukkan d dengan pengeras suara, apalagi dilakukan dengan volume maksimal yang memekakkan telinga dan menggangu orang lain.
Kedua, banyak riwayat sahabat yang melarang suara keras di masjid. Sayyidina Umar bin Khattab ra memberi teguran keras kepada dua orang Tha’if yang melantangkan suara di masjid Nabawi. “Andaikan kalian adalah penduduk Madinah, niscaya aku akan menghukum (mencambuk) kalian. Kalian telah mengeraskan suara di masjid Rasulullah saw” (HR Al-Bukhari).
Hal ini juga berlaku untuk masjid selainnya. Ketiga, penggunaan pengeras suara luar mengganggu konsentrasi ibadah dan aktifitas orang lain, kenyamanan orang yang sedang istirahat, dan orang yang sedang sakit. Padahal mengganggu orang lain hukumnya tidak boleh, baik secara nash maupun ijmak ulama. Nabi saw bersabda:
مَنْ ضَارَّ أَضَرَّ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ شَاقَّ شَاقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ
Artinya, “Siapa saja yang mengganggu orang lain maka Allah akan mengganggunya; dan siapa saja yang memberatkan orang lain maka Allah akan memberatkannya. (HR Ibnu Majah dan ad-Daraquthni).
Keempat, penggunaan pengeras suara luar meskipun mengandung kemaslahatan bagi jamaah masjid, namun di sisi lain juga menganggu kenyamanan masyarakat luas selain jamaah masjid. Kenyamanan masyarakat luas harus didahulukan daripada kemaslahatan jamaah masjid. Kaidah fiqih menyatakan: “Falâ turajjâhu mashâlalih khâsshah ‘ala mashâlalih ‘ammah,” kemaslahatan yang bersifat khusus tidak dimenangkan di atas kemaslahatan yang bersifat umum.”
Kelima, kaidah dar’ul mafâsid muqaddamun ‘alâ jalbil mashâlih atau menghindari kerusakan harus didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan.
Penggunaan pengeras suara luar meskipun juga membawa kemaslahatan, seperti memperdengarkan nasehat dan bacaan Al-Qur’an, bila sampai mengganggu istirahat orang banyak, orang-orang yang sedang sakit dan semisalnya, maka harus dibatasi, sebagaimana semangat kaidah ini. Keenam, penggunaan pengeras suara luar untuk menyampaikan nasehat dan bacaan Al-Qur’an terkadang menjadi pintu masuk menuju riya dan sum’ah (pamer dan mencari popularitas) yang justru dilarang agama. Nabi saw bersabda:
مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ الله بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرائِيَ اللهُ بِهِ
Artinya, “Siapa saja yang pamer (amal agar didengar orang) maka Allah akan memamerkan keburukannya; dan siapa saja yang (amal agar dilihat orang), maka Allah akan memperlihatkan keburukannya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Ketujuh, penggunaan pengeras suara untuk dzikir, doa dan semisalnya jauh dari ketenangan dalam beribadah yang disyariatkan agama. Nabi bersabda:
اُدْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya, “Berdoalah kepada Tuhan kalian dengan rendah hati dan suara lembut, sungguh Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Surat Al-A’raf ayat 77).
Demikian 7 dalil atau argumentasi ilmiah tentang pengaturan pengeras suara di tempat ibadah. Secara lebih lengkap dapat dibaca di kitab I’lâmul Khâsh wal ‘Âmm bi Anna Iz’âjan Nâsi bil Mikrûfûn.
Bangunan 7 dalil atau argumentasi ilmiah di atas memberi pengertian kepada kita bahwa penggunaan pengeras suara luar untuk ibadah, doa, dan—kecuali untuk azan—secara lebih sederhana dapat diperinci sebagai berikut:
1) Bila mengganggu orang lain maka hukumnya haram, meskipun yang terganggu hanya sedikit. 2) Bila tidak mengganggu orang lain, maka hukumnya adalah khilafus sunnah atau tidak berkesesuaian dengan sunnah, sebab syariat tidak menyunahkan mengeraskan suara dalam ibadah, doa, dan sehingga menggangu orang lain. (Zain bin Muhammad bin Husain Alydrus, I’lâmul Khâsh wal ‘Âmm bi Anna Iz’âjan Nâsi bil Mikrûfûn Harâm, [Mukalla, Dârul ‘Idrûs: 1435/2014], halaman 31-37).
Setelah memahami berbagai catatan ini, sudah seharusnya kita mengevaluasi penggunaan pengeras suara luar yang kadang memang mengganggu orang di luar jamaah, yang tidak berani menyampaikan keluhannya karena khawatir dianggap menista. Karenanya pengaturan pengeras suara di masjid dan musala layak diapresiasi, terlepas dari pro dan kontra yang mengitarinya.
Wallahu a’lam.
Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU Online
Leave a Reply