NU Sumedang Online – Orang-orang pilihan seperti para rasul dan raja, ditakdirkan bisa menciptakan sejarah. Mereka mendapatkan wahyu kerasulan dan kekuasaan untuk mewarnai peradaban manusia. Kisahnya dicatat oleh kitab suci dan buku sejarah. Ada pula orang tertentu yang ‘dihampiri’ sejarah yang secara tanpa sadar ikut terlibat dalam peristiwa besar di sekitarnya. Di antara yang kedua ini adalah KH Ahmad Falah, pendiri Pesantren Al Falah Cikoneng, Sumedang.
Di manapun ia berada, peristiwa besar yang menyangkut tokoh-tokoh penting, datang menghampirinya. Masyarakat kemudian mengenangnya sebagai Mama Falah Cikoneng.
Mama Falah seorang santri kelana. Perbedaanya dengan santri yang lain, ia membawa sepeda kesayangannya ke pesantren. Untuk ukuran tahun 1930-an, sepeda terbilang barang mewah. Hanya orang dari keluarga berada yang bisa memiliki kereta angin itu. Karena sepeda itulah ia menjadi langganan kurir para kiai di pesantren yang ia datangi.
Saat mengaji kepada KH R Ahmad Dimyati (Mama Gedong) di Pesantren Sukamiskin, pada awal 1930-an, Ahmad Falah ikut dilibatkan sebagai panitia bagian pengantaran surat. “Ini ada surat dari sahabat saya saat mengaji di Makkah, namanya Kiai Hasyim Asy’ari,” ujar Mama Gedong menjelang Muktamar NO ke-6 tahun 1932.
“Beliau meminta saya untuk membantu pelaksanaan Muktamar NO di Bandung. Kamu pergi ke Sirnamiskin, undang Dimyati ke sini,” lanjut Mama Gedong menyebut nama salah satu santrinya yang sudah mukim, yang kebetulan bernama sama.
Dengan sepedanya Ahmad Falah berkeliling ke sejumlah pesantren di Bandung untuk menyampaikan kabar Mukatamar NO itu.
Kadang ia menggayuh pedal sendirian, lain waktu ia ditemani kawannya yang bernama Najmuddin. Karibnya ini kelak mendirikan Pesantren Cigondewah, yang saat ini diasuh oleh KH Sofyan Yahya. Ahmad Falah dan kawan-kawan seangkatannya menjadi saksi sejarah pelaksanaan Mukatamar NU VI di Bandung itu.
Pada akhir 1933, Ahmad Falah pamitan dari Sukamiskin untuk pindah ke Pesantren Cipasung Tasikmalaya. Pesantren inibaru berdiri tahun 1931. Usia pengasuhnya hanya terpaut tiga tahun di atasnya.
Ia lahir tahun 1914, sementara Ajengan Ruhiat lahir pada 1911. Ruhiat muda memang sudah menjadi bintang dalam Mukatamar NU. Kemunculannya dicatat khusus oleh Kiai A Wahid Hasyim.
31 Januari 1934, Falah diminta Ajengan Ruhiat untuk memanggil paraji (dukun beranak) di Singaparna. Nyai Asiah akan segera melahirkan. Dengan sigap Falah menggayuh sepedanya menuju rumah paraji dan membawanya ke Cipasung. Saat bayi itu lahir, diberi nama Mohammad Ilyas. Kelak bayi ini tumbuh sebagai aktivis NU, ikut mendirikan IPNU (1954), menjadi pengurus NU Cabang Tasikmalaya, lalu di PWNU Jawa Barat, dan puncaknya menjadi Rais ‘Aam PBNU.
Saat tengah khusyuk mengaji di Cipasung, tiba-tiba ia mendapat panggilan dari Sukamiskin. “Tolong bantu Jang Epen, dirikan NO di Sumedang,” demikian perintah singkat Mama Gedong.
Jang Epen yang dimaksud adalah Kiai Muhammad Syatibi, salah seorang santri Mama Gedong yang mengajar di lingkungan pendopo Kabupaten Sumedang.
Semangat belajar Ahmad Falah masih menggebu-gebu. Ia belum berkeinginan untuk mukim. Sejumlah pesantren ia datangi sampai akhirnya ia menikah pada 1943.
Pertengahan tahun 1938 Ahmad Falah mengaji di Pesantren Petir Serang yang diasuh oleh KH Muhammad Zuhri atau lebih dikenal sebagai Kiai Emed. Karena dianggap senior, di pesantren ini Falah ikut membantu mengajar. Kawan seangkatannya antara lain Idrus, kelak mengasuh Pesantren Turus Pandeglang, Idris pendiri pesantren Kebon Kalapa Lebak, dan Halimi yang asli Serang.
Lalu tak jauh dari pesantrennya, tepatnya di Menes Pandeglang, dilangsungkan Muktamar NU ke-13. Falah dan kawan-kawannya ditugaskan oleh Kiai Emed untuk ikut membantu pelaksanaan hajat terbesar NU itu.
Di antara guru yang sering ia ceritakan kepada anak-anaknya adalah KH Syabandi atau lebih dikenal sebagai Mama Cilenga.
“Mama Cilenga itu ajengan paling aneh yang pernah Mama temukan,” ujarnya kepada anaknya yang bernama Idad Isti’dad.
Menurutnya, saat mengaji di Cilenga, ia jarang bandongan atau sorogan kitab kuning. Hal itu rupanya diakibatkan berbagai pembatasan pada masa pendudukan tentara Jepang. Falah dan santri lainnya sering diajak Mama Cilenga ke kebun atau sawah. Mereka membawa tikar tipis untuk alas duduk sambil menemani Mama Cilenga yang ngarit dengan sabitnya.
“Kalian yang sudah belajar dan berilmu, jangan sampai hidup dalam kesombongan,” tutur Mama Cilenga.
“Kita harus bisa hidup di bawah rumput. Takabur orang alim itu dengan ilmunya. Sama dengan ketakaburan orang dengan ketampanan, kecantikan dan kekayaan,” lanjutnya.
Persentuhannya dengan ajengan pendiri NU pertama di Tasikmalaya itu sangat mengesankan Ahmad Falah. Pesantren Cilenga terkenal sebagai kawah candradimuka sejumlah ulama jumhur di seputar Priangan Timur. Di anatara yang paling populer adalah KH Zainal Musthafa Sukamanah, Kiai Dahlan Cicarulang, dan Kiai Ruhiat Cipasung. Ketiganya menjadi tokoh NU. Ada pula KH Iping Zainal Abidin, tokoh Muhammadiyah Jawa Barat yang juga menantu Mama Cilenga. Di Cilenga pula dimulai sistem madrasi yang mengadopsi Tebuireng Jombang dan Santi Asromo Majalengka. Madrasahnya bernama Mathla’un Najah.
Pesona Tebuireng dan kemasyhuran Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari menarik hati Falah untuk ngalap berkah, mendapatkan sanad Sahih Bukhari dan Muslim. Di tahun 1942 itu ia sudah berada di atas kereta api Bandung-Surabaya. Saat mencapai Cipeundeuy Malangbong, kereta berhenti. Tunggu punya tunggu, dari siang sampai menjelang malam, kereta tak bergerak lagi. Informasi beseliweran. Ada yang menyebutkan bahwa jalan kereta di Yogyakarta dihancurkan oleh Tentara Jepang yang belum lama masuk Indonesia.
Tak mau kehilangan waktu belajar, Falah bergegas menuju ke Bandung, kembali ke Pesantren Al-Jawami yang diasuh oleh Mama Syuja’i. Dari kawan-kawannya yang sudah duluan pergi ke Tebuireng tetapi terpaksa kembali ke Bandung, Falah mendapatkan banyak cerita memilukan. Mereka dengan susah payah mencari kendaraan pulang ke Jawa Barat. Kondisi Tebuireng menjadi chaos setelah penangkapan Kiai Hasyim oleh tentara Jepang. Pemimpin tertinggi NU itu lalu dipenjara di Surabaya dan Mojokerto selama lima bulan.
Namun, yang paling dramatis dalam hidupnya adalah persentuhannya dengan KH A Wahid Hasyim. Pada April 1953, sebagai Ketua PCNU Sumedang, ia bermaksud mengundang Kiai Wahid menghadiri Harlah NU di Sumedang. Dengan penuh percaya diri ia pergi ke Jakarta untuk mengantarkan surat undangan. Bayangannya, tiba di PBNU, ia berikan undangan ke Kiai Wahid, lalu kembali ke Sumedang. Maka ia pun pergi dengan pakaian yang melekat di badan saja. Nah, sesuatu yang tak terduga itu terjadi. Kiai Wahid yang juga Menteri Agama, sedang melawat ke Sumatra. Maka Falah pun terpaksa harus menginap. Saat itu tidak mudah untuk sekedar menumpang mandi di kantor PBNU. Ketika keesokan sorenya ia bersua Kiai Wahid, selain kucel Falah juga merasa bayeungyang.
“Kamu belum mandi, ya?” tebak Kiai Wahid.
“Benar, Kiai.”
“Ayo, ikut ke rumah saya.”
Tanpa pikir panjang, Falah menyertai Kiai Wahid ke rumahnya. Setelah mandi, ia diberi satu stel pakaian. Dan sesudah cukup istirahat, ia pun kembali ke Sumedang dengan hati riang karena tokoh idolanya itu bersedia untuk datang ke Sumedang.
Kemudian … 10 April 1953, peristiwa tragis itupun terjadi. Sedan Chevrolet Bel Air yang dikendarai Kiai Wahid mengalami kecelakaan di Cimahi. Ribuan nahdliyin Sumedang yang suah berkumpul di alun-alun, akhirnya harus menerima berita duka.
Demikian sekelumit kehidupan Mama Falah Cikoneng sebagaimana dituturkan oleh Kiai Idad Isti’dad. Kang Idad saat ini adalah Ketua PCNU Sumedang, meneruskan jejak sejarah ayahandanya.
Mama Falah wafat pada tahun 2007 di usia 93 tahun. Lahul Fatihah.
Penulis: Iip Yahya
Leave a Reply