NU Sumedang Online – KH Muhammad Syatibi atau Mama Syatibi adalah seorang Imam Masjid Agung Sumedang sepanjang usianya, yakni sejak masa penjajahan Belanda pada tahun 1925 sampai menjelang wafatnya tahun 1987. Ia mengemban amanah itu atas permintaan Tumenggung Aria Kusumadilaga atau lebih dikenal Dalem Bintang dan atas izin dari gurunya, KH Ahmad Dimyati Sukamiskin.
Di samping menjalankan tugas sebagai imam masjid besar, Mama Syatibi juga mendidik generasi muda melalui Madrasah Islam Sumedang (MIS) yang hingga kini masih tetap berdiri. Ia mendidik anak-anak tentang bagaimana cara beribadah, berakhlak, dan mengenal tuhannya.
Memasuki masa kemerdekaan, Mama Syatibi mulai berperan dalam pemerintahan dengan menjadi Penghulu Negeri Sumedang, lalu menjadi Kepala KUA Sumedang, kemudian Kepala Pengadilan Agama Kabupaten Sumedang, dan pernah pula sebagai salah seorang anggota DPRD TK. II Kabupaten Sumedang. Aktivitas itu dijalaninya sejak tahun 1945 sampai dengan tahun 1966.
Pada waktu yang sama, ia aktif di organisasi politik dan kemasyarakatan, yakni pernah menjadi:
- Ketua Syuro Masyumi Kabupaten Sumedang tahun 1950 -1955
- Rais Syuriyah PCNU Sumedang tahun 1955 – 1983
- Wakil Rais Syuriyah PWNU Jawa Barat tahun 1971 – 1987
- Ketua Majelis Ulama Kabupaten Sumedang tahun 1971 – 1987
Jika dilihat dari perjalanan hidupnya, aktivitas politik dan pemerintah kemudian ditinggalkannya. Mama Syatibi lebih banyak memperkuat dakwah dengan datang ke kampung-kampung memenuhi undangan ceramah dan pengajian rutin di masjid-masjid kecamatan-kecamatan di Sumedang.
Dalam seminggu, selama lima hari ia mengisi pengajian rutinan di tempat berbeda dengan jamaah tidak hanya masyarakat biasa, tapi juga para kiai dan ajengan. Lalu, tiap hari Selasa, giliran para kiai itu yang mengaji di kediamannya. Hanya hari Jumat ia beristirahat dan berada di rumahnya.
Namun, itu pun tidak sepenuhnya istirahat karena umat masih saja ada yang datang dengan berbagai permasalahannya. Mulai tamu dari tingkat nasional, sampai masyarakat paling bawah ia terima.
Mama Syatibi memang tidak mendirikan pondok pesantren, tapi dengan berdakwah semacam itu, persatuan antara pemuka agama menjadi kokoh. Segala persoalan umat yang menyangkut keagamaan bisa dimusyawarahkan dan diselesaikan dengan mudah.
Ia bukan tak mampu membangun pesantren besar, tapi memilih dengan cara berdakwah seperti itu, yaitu mendorong, memotivasi, mengayomi warga Sumedang untuk menuntut ilmu agama. Tak heran kemudian para kiai menjuluki sebagai inspirator nyantri.
Mama Syatibi mengurangi aktivitas keumatan beberapa tahun menjelang wafatanya pada tahun 1987. Saat wafat pun ia ingin bersama masyarakat dengan meminta dikebumikan di pemakaman umum Cigugur. Padahal ia memiliki hak untuk dikebumikan di kompleks pemakaman keturunan raja-raja Sumedang Larang karena memang Mama Syatibi merupakan turunan kesepuluh dari Pangeran Santri Koesoemahadinata I.
Penulis: Abdullah Alawi
Leave a Reply